Bismillah.
Dalam tulisan kali ini saya ingin mencoba untuk
berbagi pengalaman VBAC (Vaginal birth after caesarean, a.k.a lahiran normal
setelah melahirkan sesar) yang saya alami sekitar 3 bulan yang lalu.
Sejak
kehamilan anak pertama, saya sudah sangat mupeng untuk melahirkan normal tapi
apa mau dikata, Allah lebih tahu apa yang terbaik, setelah 12 jam mandek
dibukaan 8, air ketuban mulai berwarna kehijauan, dan diputuskan lah untuk
operasi sesar demi keselamatan ibu dan bayi.
Pada kehamilan yang kedua ini saya semakin bertambah mupeng
untuk melahirkan normal, mengingat ada balita aktif yang lengket banget sama
saya. Kebayang rempongnya ngurusin si balita powerful sambil ngurusin bayi baru
dan pemulihan pasca sesar. Satu lagi, pengen banget IMD (memang sih, di sebagian
RS diizinkan bagi pasien sesar untuk melakukan IMD). Itu cuma salah dua ya, masih sangat banyak lagi
kelebihan melahirkan dengan vaginal birth ini yang bikin saya kepengen pake banget, untuk lebih lengkapnya bisa lah
ya tanya sama si mbah google. Mengenai
manfaat IMD juga banyak bertebaran, juga tinggal tanya sama si mbah.
Pertama kali tahu
hamil itu, tanggal 26 Januari 2016, tiba-tiba test pack bergaris kembar. Sudah
telat 3 bulan memang. Tapi test-pack minggu-minggu yang sebelumnya selalu negative
(sekitar 3 testpack). Merk ngaruh gak sih?
Waktu itu lagi domisili di
Tangerang, jadi langsung ke RS Hermina Tangerang. Alhamdulillah, ternyata betul
positive hamil, usia kehamilan 6 minggu. Tapi, Bu Dokternya meragukan saya bisa
VBAC karena berat badan (fiiuh). “Jika ingin VBAC dengan berat badan yang
sekarang, selama hamil berat badan ibu hanya boleh bertambah maksimal 6 kg. Dan
sepertinya agak sulit”. Kurang lebih begitu kata dokternya. Ketar-ketir juga
mendengar omongan dokternya. Di kehamilan sebelumnya saya juga cuma nambah 6-7
kg, jadi saya sih tetap optimis. Seminggu setelah kontrol di sana kami
sekeluarga pindah ke kota Payakumbuh, Sumatera Barat.
Saya dan suami, yang memang sudah sepakat ikhtiar untuk
VBAC, sempat bimbang di Payakumbuh ada atau
tidak nakes (tenaga kesehatan) yang bersedia menangani VBAC. Dari
buku-buku yang saya baca, pemilihan tenaga kesehatan yang tepat merupakan salah
satu poin penting dalam menentukan kesuksesan VBAC. Akhirnya setelah bertanya
kesana kemari, ada teman SMA saya dulu, sebut saja namanya Imel, yang sukses
VBAC di Klinik Bersalin Annisa Payakumbuh. Oke, akhirnya pilihan jatuh ke
Klinik Bersalin Annisa.
Pengalaman pertama konsul di klinik tersebut usia kehamilan
8 minggu. Ketika saya utarakan niat untuk VBAC, Pak dokternya jawab dengan cool,
“ Ya, nanti kita coba dulu”. Udah segitu aja jawabannya, tapi kalimat pendek
tersebut seperti angin segar buat kami. Alhamdulillah dokternya tidak
mempermasalahkan berat badan (kakkakkak), yang penting jarak kehamilan di atas
18 bulan.
Berminggu-minggu kemudian, tiap kali kontrol alhamdulillah kondisi
bayi kami selalu bagus. Memasuki awal bulan ke-7, dokter sempat berkomentar,
“Wah bayinya sepertinya agak besar, tapi tidak apa-apa”. Awal bulan ke-8, dokter
bilang, “Jika 2 minggu lagi bayi belum masuk panggul, kemungkinan akan sesar
lagi”. Bagai disambar petir, saya yang kemaren-kemaren santai kaya di pantai,
mulai rajin bergerak. Jalan pagi mulai diketatkan, naik turun tangga, yoga,
jongkok, mainin birthing ball, dan doa nya juga semakin gencar.
Daaan alhamdulillah 2 minggu kemudian waktu di USG, bayi
sudah masuk panggul. YESS!!
Tapiiii ternyata muncul indikasi lain, bayi besar
(fiuuh, lap keringat). “Bagus, kepala bayi sudah masuk panggul. Tapiii bayinya cukup besar ya. Jika akan disesar, tanggalnya
harus dimajukan, yang awalnya HPHT 20 september, jadwal sesar harus dimajukan
jadi 5 September. Jika ditunggu sampai HPL dikhawatirkan berat bayi bisa
melebihi 4kg”. Deng deng deng deng, keder juga si saya.
Berat bayi 3,4 diusia 32 minggu. “Memang
berapa berat bayi yang aman untuk VBAC, dok?” tanya saya waktu itu. “Sebaiknya
dibawah 3kg, tapi asalkan jangan lebih dari 3,5 masih bisa diusahakan, tapi ya
agak berisiko.” Hiks, baiklah dok, apapun akan saya lakukan agar bisa VBAC.
Akhirnya dokter pun menyarankan saya untuk diet karbo. Oke SIAP dok!!
Mendadak saya terserang kantuk
pemirsah, bersambung dulu yaa..
Apa yang selanjutnya terjadi pada si saya?
Apakah ia berhasil diet karbo? Ikuti terus kisahnya ya (kakkakkakk,makin malam,
makin error)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar